- Semarak KKB 2025 di Tarakan, BI Targetkan Transaksi Rp 2,5 Miliar dan Hiburan RAN
- Rocky Gerung Tantang Aktivis Muda Kaltara Dorong Isu Lingkungan ke Panggung Dunia
- Harga Emas di Pegadaian Turun Lagi, Rabu 29 Oktober 2025
- Komitmen Investasi untuk IKN Capai Rp 225 Triliun, Bukti Kepercayaan Investor Terus Menguat
- Ekonomi Kalimantan Utara Tumbuh 4,54 Persen di Triwulan II-2025
- Harga Batu Bara Meroket, China dan Korea Selatan Jadi Penentu Arah Pasar Globa
- Bupati Nunukan Salurkan Sekolah Gratis untuk Siswa SD dan SMP
- Kaltara Komitmen Wujudkan Pelayanan Perizinan yang Efisien dan Transparan
- Purbaya Tegaskan Indonesia Harus Lepas dari Ketergantungan Asing dalam Sistem Coretax
- Polres Tarakan Dorong Ketahanan Pangan Lewat Budidaya Jagung Pipil
APINDO Kaltara Soroti Dampak Tarif Impor ke Sektor Perikanan:Harus Segera Cari Pasar Alternatif
Harga Komoditas Turun, Petambak Terancam Rugi di Tengah Krisis Global
_Peter_Setiawan.jpg)
Keterangan Gambar : Ketua APINDO Kaltara dan juga pelaku eksportir (PT Sabindo Raya Gemilang) Peter Setiawan
TARAKAN – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kalimantan Utara menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat terhadap sektor ekspor perikanan, khususnya produk udang. Hal ini diungkapkan dalam wawancara khusus dengan salah satu Ketua APINDO Kaltara sekaligu pelaku eksportir (PT Sabindo Raya Gemilang) Peter Setiawan yang menegaskan pentingnya kesiapan menghadapi tantangan perdagangan global.
Menurutnya, kebijakan tarif yang sebelumnya diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump masih membayangi. Bahkan, terdapat wacana anggota BRICH akan dikenaikan tambahan 10 persen hingga menjadi 42 persen yang dinilai akan semakin memberatkan pelaku usaha di daerah, khususnya para petambak dan eksportir perikanan. “Jika 32 persen saja sudah menyulitkan, apalagi ditambah 10 persen lagi. Itu sangat berpengaruh pada daya saing produk kita,” ujar Peter Setiawan.
Ia menjelaskan bahwa sektor perikanan khususnya komoditas udang menjadi salah satu yang paling terdampak. Bila biaya ekspor ke Amerika terus meningkat, maka pasar harus segera dialihkan ke negara lain. Namun, mencari pasar alternatif di tengah krisis global tidak semudah yang dibayangkan.
Baca Lainnya :
- Ekonomi Kalimantan Utara Alami Pelambatan, Tapi Masih Tunjukkan Tren Positif0
- Rahasia Kaya: Empat Kebiasaan Orang Berduit yang Sering Terlewat0
“Negara lain pun sedang menghadapi krisis. Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah pusat untuk memperkuat diplomasi ekonomi dan membuka peluang pasar baru,” jelasnya.
Selain tekanan tarif, pelaku usaha juga menghadapi biaya logistik domestik yang sangat tinggi. Contohnya, ongkos pengiriman dari Surabaya ke Tarakan jauh lebih mahal dibandingkan Surabaya ke Singapura. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya operasional seperti container, freight, hingga logistik darat.
“Kami berharap pemerintah turun tangan untuk menekan biaya logistik, termasuk bahan baku seperti pakan, pupuk, dan bibit yang saat ini harganya sudah melambung tinggi,” tambahnya.
Menurutnya, jika harga jual produk seperti udang turun di pasar internasional, sementara biaya produksi naik, maka banyak petambak akan kesulitan bertahan. “Kalau ini dibiarkan terus, akan terjadi penurunan produksi besar-besaran. Ini bukan hanya berdampak ke eksportir, tapi juga ke nelayan dan petambak kecil,” ucapnya.
Dalam wawancara tersebut, ia juga menyinggung soal perkembangan teknologi, terutama otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) yang mulai menggantikan banyak pekerjaan manusia. “Sekarang banyak pekerjaan dibantu AI. Bahkan di luar negeri, taksi tanpa sopir sudah digunakan. Ini realita yang harus kita hadapi,” ungkapnya.
Ia mendorong agar masyarakat, khususnya generasi muda, menyiapkan diri untuk memasuki era robotisasi dengan mengembangkan kreativitas, inovasi, dan wirausaha kecil seperti bisnis makanan dan minuman yang lebih tahan terhadap disrupsi teknologi.
APINDO Kaltara berharap pemerintah pusat segera menginisiasi forum bersama antara pelaku usaha, asosiasi, dan kementerian terkait untuk membahas secara terbuka persoalan tarif, ekspor, serta transformasi ekonomi nasional. “Kalau tidak diantisipasi dari sekarang, akan banyak industri yang tutup karena tekanan biaya yang tidak tertanggulangi,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa sebagian besar masyarakat dunia saat ini lebih memilih kebutuhan pokok yang murah dan terjangkau, sehingga pelaku usaha di sektor pangan masih memiliki peluang bertahan jika mampu menyesuaikan diri.











